Dr. Budiman N.P.D Sinaga,S.H.M.H.
Sejak semula setiap orang memerlukan
orang lain. Seseorang memerlukan orang lain untuk memenuhi berbagai
kebutuhan. Dalam perkembangannya tidak hanya orang yang mempunyai
berbagai kebutuhan melainkan subjek hukum lain juga, seperti
perusahaan. Seiring dengan perkembangan zaman kebutuhan orang atau
perusahaan pun semakin beragam. Sebagian dari kebutuhan-kebutuhan itu
dapat diperoleh dengan bebas tetapi sebagian lagi tidak bebas, antara
lain hanya dapat diperoleh melalui perdagangan. Sebagian dari kebutuhan
itu dapat diperoleh dengan mudah dari sekitarnya tetapi sebagian lagi
hanya dapat diperoleh dari tempat-tempat yang jauh bahkan dari negara
yang berbeda.
Perdagangan yang melibatkan para pihak dari lebih satu negara disebut perdagangan internasional (international trade) atau bisnis internasional (internatioal business).
Perdagangan internasional atau bisnis internasional terutama
dilaksanakan melalui perjanjian jual beli. Perjanjian jual beli
internasional dikenal dengan sebutan perjanjian ekspor/impor, kegiatan
jual disebut ekspor dan kegiatan beli disebut impor. Pihak penjual
disebut eksportir dan pihak pembeli disebut imporir. Secara ringkas
kegiatan ini disebut ekspor dan impor.
Walaupun perjanjian ekspor/impor pada
hakikatnya tidak berbeda dengan perjanjian jual beli pada umumnya yang
diselenggarakan dalam suatu negara tetapi mempunyai beberapa
perberdaan, antara lain: Pembeli dan penjual dipisahkan dengan
batas-batas negara, barang yang diperjualbelikan dari satu negara ke
negara lain terkena berbagai peraturan seperti kepabeanan yang
dikeluarkan masing-masing negara, diantara negara-negara yang terkait
terdapat berbagai perbedaan seperti bahasa, mata uang, kebiasaan dalam
perdagangan, hukum, dan sebagainya.
https://drive.google.com/open?id=0B6MaGRSAbKqAYjFmUDhfUXM0cVk
Kegiatan ekspor/impor berkaitan erat
dengan pembayaran. Cara pembayaran yang dikenal dalam ekspor/impor
antara lain: secara tunai (cash payment), secara rekening terbuka (open account), dan secara penarikan wesel atau suatu Letter of Credit (L/C)
Istilah Letter of Credit (L/C) ini sering juga disebut dengan Documentary Credit (Kredit Berdokumen) atau Banker Commercial Credits. Di Belanda istilah yang dipakai adalah creditbrief, di Perancis lettre de creedet, di Jerman accredietief, sedangkan di Belgia atau Amerika Serikat istilah yang digunakan adalah crediet atau credit saja.
Para pihak dalam praktik transaksi
bisnis secara internasional seringkali menghadapi kesulitan dalam
memastikan hak dan kewajiban mereka karena berada di negara yang
berbeda.
Masalah yang sering timbul dalam jual beli internasional karena
perbedaan hukum diantara negara penjual dan pembeli adalah: Kekuatan
hukum negosiasi, akseptasi yang berbeda dengan tawaran, pembatalan
suatu tawaran, perlu tidaknya suatu Consideration, keharusan kontrak tertulis, dan waktu dianggap tercapainya kata sepakat.
A. Perjanjian Ekspor/Impor
1. Pengertian Perjanjian
Suatu perjanjian
adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain
atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal. A contract is a promise or a set of promises, which the law will enforce. Kontrak adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis.
Suatu perjanjian merupakan suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau di mana dua
orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Berdasarkan hal yang
dijanjikan untuk dilaksanakan (prestasi), perjanjian dibagi dalam tiga
macam, yaitu:
1. Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang;
2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu;
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
Perjanjian ekspor/impor pada hakikatnya
merupakan perjanjian yang berisi perjanjian untuk
memberikan/menyerahkan suatu barang. Di satu pihak penjual menyerahkan
sejumlah barang sesuai dengan kualitas, jumlah, dan karaketristik
tertentu kepada pembeli. Sementara di pihak lain pembeli menyerahkan
sejumlah uang kepada penjual sesuai dengan harga yang disepakati.
2. Sistem Terbuka Dalam Perjanjian
Hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Sistem ini kemudian melahirkan prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang membuka kesempatan kepada para pihak yang membuat perjanjian untuk menentukan hal-hal berikut ini.
a. Pilihan hukum (choice of law),
dalam hal ini para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang hukum
mana yang berlaku terhadap interpretasi kontrak tersebut.
b. Pilihan forum (choice of jurisdiction),
yakni para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang pengadilan
atau forum mana yang berlaku jika terjadi sengketa di antara para pihak
dalam kontrak tersebut.
c. Pilihan domisili (choice of domicile), dalam hal ini masing-masing pihak melakukan penunjukan di manakah domisili hukum dari para pihak tersebut.
Kebebasan di atas tidak hanya berlaku
untuk perjanjian yang hanya meliputi satu wilayah negara melainkan
berlaku juga dalam perjanjian yang melintasi batas-batas negara. Dalam
perjanjian ekspor impor dapat dipilih hukum yang dipakai, bisa hukum
negara salah satu pihak, hukum negara lain di luar para pihak, hukum
dari suatu organisasi internasional, atau hukum lain.
Demikian pula tentang penyelesaian
sengketa jika terjadi dapat dipilih berbagai cara penyelesaian, melalui
arbitrase, pengadilan, atau cara-cara lain. Bahkan untuk suatu cara
penyelesaian sengketa dapat dirinci lagi, misalnya arbitrase yang akan
digunakan ditentukan secara pasti, di negara tertentu dari lembaga
tertentu mengingat lembaga arbitrase yang ada sekarang sudah sangat
banyak.
3. Beberapa Asas Hukum Perjanjian
Dalam hukum perjanjian dikenal berbagai asas, antara lain asas konsensualisme. Kata konsensualisme berasal dari kata latin consensus
yang berarti sepakat. Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya
perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan
sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian
itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan
tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.
Perjanjian menurut KUH Perdata secara umum bersifat konsensuil kecuali
beberapa perjanjian tertentu yang merupakan perjanjian riil atau formil.
Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang
menjadi pokok perjanjian telah diserahkan. Contoh dari perjanjian riil
adalah utang piutang, pinjam pakai, dan penitipan barang.
Dalam perkembangan, suatu perjanjian
dapat mengalami perubahan dari konsensuil menjadi riil. Sebagai contoh
perjanjian jual beli menurut KUH Perdata pada asasnya merupakan
perjanjian konsensuil. Akan tetapi perjanjian jual beli tanah menurut
hukum agraria yang berlaku sekarang merupakan perjanjian riil karena
didasarkan pada hukum adat yang bersifat riil.
Selanjutnya dikenal perjanjian formil,
yaitu perjanjian yang menurut undang-undang harus dituangkan dalam
bentuk atau formalitas tertentu. Misalnya perjanjian perkawinan,
perjanjian pemberian kuasa untuk memasang hipotik, atau perjanjian
pendirian perseroaan terbatas harus dituangkan dalam akta otentik. Di
samping itu ada perjanjian yang cukup tertulis saja, tidak perlu berupa
akta otentik, seperti perjanjian pertanggungan.
4. Syarat Sah Perjanjian
Penjajian harus memenuhi beberapa
syarat tertentu supaya dapat dikatakan sah. Dalam KUH Perdata ditemukan
ketentuan yang menyebutkan syarat sah suatu perjanjian yakni Pasal
1320. Menurut Pasal 1320 KUHP ada 4 syarat yang harus dipenuhi suatu
perjanjian supaya sah, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan
syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orang atau subyek-subyek
yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir
dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri
atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Secara ringkas masing-masing syarat
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat
perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling
menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak
dengan tiada paksaan, kekeliruan, dan penipuan.
Cakap (bekwaam) merupakan
syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu
harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu
perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.
Dengan kata lain orang yang tidak cakap tidak memenuhi syarat untuk
membut perjanjian. Adapun orang yang tidak cakap menurut Pasal 1330 KUH
Perdata ialah:
1. Orang-orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal
yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada
siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan
tertentu.
Pengertian suatu hal tertentu mengarah
kepada barang yang menjadi obyek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333
BW barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini harus tertentu,
setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak
perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau
diperhitungkan.
Suatu sebab yang halal merupakan syarat
yang keempat atau terakhir agar suatu perjanjian sah. Mengenai syarat
ini Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa
sebab atau perjanjian yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu
atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Dengan sebab (bahasa Belanda oorzaak, bahasa Latin causa)
ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Jadi, yang
dimaksudkan dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi
perjanjian itu sendiri
Setiap perjanjian semestinya memenuhi
keempat syarat di atas supaya sah. Perjanjian yang tidak memenuhi
keempat syarat tersebut mempunyai beberapa kemungkinan. Jika suatu
perjanjian tidak memenuhi dua syarat yang pertama atau syarat subyektif
maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian
dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak
cakap atau pihak yang telah memberikan sepakat secara tidak bebas.
Sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif mengakibatkan
perjanjian itu batal demi hukum (null and void). Perjanjian
semacam ini sejak semula dianggap tidak pernah ada. Oleh karena itu,
para pihak tidak mempunyai dasar untuk saling menuntut.
5. Unsur-unsur Perjanjian
Unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
1. Unsur essensialia
2. Unsur naturalia
3. Unsur accidentalia
Unsur essensialia adalah unsur
perjanjian yang selalu harus ada dalam setiap perjanjian. Tanpa unsur
ini perjanjian tidak mungkin ada. Sebagai contoh, dalam suatu
perjanjian jual beli harus ada barang dan harga yang disepakati sebab
tanpa barang dan harga perjanjian jual beli tidak mungkin dapat
dilaksanakan.
Adapun unsur naturalia adalah unsur
perjanjian yang diatur dalam undang-undang tetapi dapat diganti atau
disingkirkan oleh para pihak. Undang-undang dalam hal ini hanya
bersifat mengatur atau menambah (regelend/aanvullend). Sebagai contoh, dalam suatu perjanjian jual beli dapat diatur tentang kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan.
Sedangkan unsur accidentalia adalah
unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak sebab undang-undang
tidak mengatur tentang hal itu. Sebagai contoh, perjanjian jual beli
rumah beserta alat-alat rumah tangga.
6. Pengakhiran Perjanjian
Di dalam KUH Perdata dapat ditemukan
ketentuan tentang pengakhiran perjanjian. Secara khusus dalam Pasal
1381 disebutkan sepuluh cara untuk mengakhiri perjanjian, yaitu:
Pembayaran; Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan; Pembaharuan utang (novatie); Perjumpaan utang
(kompensasi); Percampuran utang; Pembebasan utang; Musnahnya barang
yang terutang; Batal/pembatalan; Berlakunya suatau syarat batal dan
Lewatnya waktu.
Cara-cara di atas belum lengkap sebab
masih ada cara-cara lain yang tidak disebutkan, seperti berakhirnya
suatu ketetapan waktu (“termijn”) dalam suatu perjanjian atau
meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti
meninggalnya seorang pesero dalam suatu perjanjian firma dan pada
umumnya dalam perjanjian-perjanjian dimana prestasi hanya dapat
dilaksanakan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh seorang lain.
Pembayaran adalah setiap pelunasan
perikatan. Jadi, misalnya, pemenuhan persetujuan kerja oleh buruh atau
penyerahan barang oleh penjual. Pada umumnya dengan dilakukannya
pembayaran, perikatan menjadi hapus, tetapi ada kalanya bahwa
perikatannya tetap ada dan pihak ketiga menggantikan kedudukan kreditur
semula (subrogasi).
Pembayaran adalah setiap pemenuhan
perjanjian secara suka rela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak
saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian tetapi pihak penjual
pun dikatakan “membayar” jika ia menyerahkan atau “melever” barang yang
dijualnya.
Hapusnya persetujuan harus benar-benar
dibedakan daripada hapusnya perikatan karena suatu perikatan dapat
hapus sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada.
Dalam hal ini dapat dikemukakan contoh jual beli, pembayaran
menyebabkan perikatan mengenai pembayaran hapus tetapi persetujuan jual
beli belum sebab perikatan mengenai penyerahan barang belum berakhir
jika belum dilaksanakan. Persetujuan dapat hapus karena:
a. Ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak. Misalnya persetujuan akan berlaku untuk waktu tertentu.
b. Undang-undang menentukan batas
berlakunya suatu persetujuan. Misalnya menurut Pasal 1066 ayat (3)
bahwa para ahli waris dapat mengadakan persetujuan untuk selama waktu
tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi
waktu persetujuan tersebut oleh ayat (4) Pasal 1066 dibatasi berlakunya
hanya untuk lima tahun.
c. Para pihak atau undang-undang dapat
menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka persetujuan
akan hapus. Misalnya: jika salah satu meninggal persetujuan menjadi
hapus:
- persetujuan perseroan Pasal 1646 ayat (4)
- persetujuan pemberian kuasa Pasal 1813
- persetujuan kerja Pasal 1603 j
d. pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging). Opzegging dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak. Opzegging hanya ada pada persetujuan-persetujuan yang bersifat sementara, misalnya:
- persetujuan kerja
- persetujuan sewa menyewa
e. Persetujuan hapus karena putusan hakim.
f. Tujuan persetujuan telah tercapai.
g. Dengan persetujuan para pihak (herroeping).
Dalam perjanjian ekspor/impor, para
pihak dapat membuat ketentuan-ketentuan mengenai segala sesuatu yang
berkaitan dengan ekspor/impor, termasuk mengenai pengakhiran
perjanjian. Selanjutnya mengenai pengakhiran perjanjian pertama-tama
harus memperhatikan alasan-alasan yang tercantum dalam perjanjian.
Pengakhiran dapat terjadi, baik ketika tujuan sudah tercapai maupun
ketika tujuan belum/atau tidak tercapai. Mengenai tujuan belum/tidak
tercapai tetapi perjanjian diakhiri misalnya karena satu atau semua
pihak tidak lagi mempunyai kemampuan untuk melaksanakan isi perjanjian.
7. Wanprestasi
Jika ada pihak yang tidak melakukakan
isi perjanjian maka pihak itu dikatakan melakukan wanprestasi.
Perkataan ini berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk
(bandingkan: wanbeheer yang berarti pengurusan buruk, wandaad perbuatan buruk). Wanprestasi dapat berupa empat macam:
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Adapun hukuman atau akibat-akibat wanprestasi ada empat,
yaitu: Pertama: membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau
dengan singkat dinamakan ganti rugi. Kedua: pembatalan perjanjian atau
juga dinamakan pemecahan perjanjian; Ketiga: peralihan risiko; Keempat:
membayar biaya perkara kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
8. Force Majeur/Overmacht
Seseorang yang dituduh lalai melaksanakan suatu perjanjian dapat memberikan pembelaan dengan berbagai alasan, yaitu:
a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur);
b. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exeptio non adimpleti contractus);
c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (pelepasan hak: bahasa Belanda: rechtsverwerking).
Khusus mengenai keadaan memaksa dapat dijelaskan sebagai berikut. Keadaan memaksa atau keadaan kahar adalah:
“Keadaan yang mengakibatkan salah satu atau semua pihak tidak dapat melaksanakan kewajiban dan/atau haknya tanpa harus memberikan alasan sah kepada pihak lainnya untuk mengajukan klaim atau tunttan terhadap pihak yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya (dan/atau haknya), karena keadaan kahar itu terjadi di luar kuasa atau kemampuan dari pihak yag tidak dapat melaksanakan kewajibannya itu.”
Dengan mengajukan keadaan memaksa
hendak ditunjukkan bahwa tidak terlaksananya sesuatu yang dijanjikan
itu disebabkan oleh hal-hal yang tidak dapat diduga sebelumnya dan
tidak dapat berbuat apa-apa terhadap hal-hal yang terjadi. Menurut
Subekti, dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau
keterlambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena
kelalaiannya.
Jika memperhatikan ketentuan dalam KUH
Perdata, mengenai keadaan memaksa diatur dalam Pasal 1244 dan 1245.
Bunyi kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 1244: “Jika ada alasan untuk itu,
si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila ia
tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu
yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu hal
yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya,
kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada padanya.”
Pasal 1255: “Tidaklah biaya, rugi dan
bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa atau karena
suatu kejadian yang tak disengaja, si berutang berhalangan memberikan
atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama
telah melakukan perbatan yang terlarang.”
Kedua pasal di atas ditempatkan dalam
bagian KUH Perdata mengenai gant rugi. Dasar pemikiran pembuat
undang-undang, ialah: Keadaan memaksa adalah suatau alasan untuk
dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.
Mengenai keadaan memaksa dikenal dua
teori, yaitu teori subyektif dan teori obyektif. Menurut teori
subyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang keadaan memaksa,
jika pemenuhan prestasinya bagi setiap orang mutlak tidak mungkin
dilaksanakan.
Sementara itu, menurut teori subyektif, terdapat keadaan memaksa jika
debitur yang bersangkutan mengingat keadaan pribadi daripada debitur
tidak dapat memenuhi prestasinya.
Adapun sifat dari keadaan memaksa itu
dapat bersifat tetap dan sementara. Jika keadaan memaksa bersifat
tetap, perjanjian berhenti sama sekali. Misalnya barang yang diekspor
terbakar dan tidak mungkin diganti dengan barang lain.
Sedangkan jika keadaan memaksa bersifat
sementara, perjanjian tidak berhenti sama sekali melainkan hanya
ditunda. Pada saat keadaan memaksa tidak ada lagi, perjanjian mulai
berlaku kembali. Misalnya larangan untuk mengekspor sesuatu barang
berlaku selama jangka waktu tertentu. Selama larangan itu berlaku
perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Akan tetapi setelah larangan tidak
berlaku lagi perjanjian dapat dilanjutkan atau dilaksanakan.
9. Perjanjian Ekspor/Impor
Salah satu perjanjian yang dikenal
adalah perjanjian jual beli. Perjanjian jual beli adalah suatu
perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan.
Perkataan jual beli menunjukkan bahwa
dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang
lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang
bertimbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en
verkoop” yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu
“verkoopt” (menjual) sedangkan yang lainnya “koopt” (membeli).
Jual beli dapat terjadi di antara
penjual dan pembeli yang berada dalam satu negara maupun beberapa
negara. Jual beli di antara penjual dan pembeli yang berada di negara
yang berbeda disebut jual beli internasional. Hukum tentang jual beli
internasional akan berjalan berbarengan dengan hukum tentang
ekspor-impor.
Dengan demikian perjanjian ekspor/impor adalah perjanjian jual beli di
antara penjual dan pembeli yang berada di negara yang berbeda.
Perjanjian ekspor
impor adalah kesepakatan antara eksportir dan importir untuk melakukan
perdagangan barang sesuai dengan persyaratan yang disepakati bersama
dan masing-masing pihak mengikat diri untuk melaksanakan semua
kewajiban yang ditimbulkannya. Pihak yang ingkar janji akan dikenai
sanksi dengan membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
Adapun hakikat dari
kontrak dagang ekspor adalah rumusan kesepakatan akhir dari suatu
perundingan (negosiasi) bisnis, yang kadangkala berjalan seru dan alot
serta memakan waktu lama. Hal ini disebabkan penjual dan pembeli
masing-masing mempunyai kepentingan yang bertolak belakang. Pihak
penjual secara umum akan menawarkan mutu barang apa adanya, sedangkan
pembeli menginginkan mutu barang yang sesuai dengan selera dan
kebutuhannya.
Penjual menginginkan harga yang tinggi,
sebaliknya pembeli menginginkan harga yang serendah mungkin. Penjual
menginginkan pengiriman barang sesuai dengan kemampuan produksi dan
penyediaan ruangan kapal, sedangkan pembeli lebih menghendaki
pengiriman barang disesuaikan dengan musim pemasaran.
Hampir semua kepentingan yang bertolak belakang (conflict of interest)
ini diselesaikan dengan cara negosiasi, sehingga tercapai kesepakatan
yang akhirnya dituangkan dalam bentuk kontrak dagang ekspor.
Kontrak dagang ekspor/impor tidak timbul begitu saja melainkan melalui
tahap-tahap tertentu. Secara ringkas tahapan tersebut dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1. Ekportir mempromosikan barang yang
akan diekspor melalui berbagai cara, seperti pameran dagang, iklan di
koran, majalah, radio, televisi, atau media lain, baik di dalam negeri
maupun di luar negeri. Promosi dapat dilakukan sendiri melalui
badan-badan khusus yang menangani promosi ekspor seperti Badan
Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), Dewan Penunjang Ekspor (DPE),
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Atase Perdagangan Kedutaan
Besar RI di luar negeri, atase perdagangan Kedutaan Besar negara-negara
asing di Jakarta, perwakilan-perwakilan dagang asing seperti American Chamber of Commerce (AMCHAM), China External Trade Association (CETRA), Japan External Trade Organization (JETRO), Korean Trade Agency (KOTRA), dan lain-lain.
2. Importir yang berminat terhadap promosi yang dilakukan eksportir kemudian mengirimkan surat permintaan harga atau Letter of Inquiry kepada eksportir. Letter of Inquiry
ini berisi permintaan penawaran harga disertai keterangan mengenai mutu
barang yang diinginkan, kuantum yang ingin dibeli, harga satuan dan
total harga dalam valuta asing (US$ atau mata uang lain), waktu
pengiriman (shipment date) serta nama pelabuhan tujuan yang diingini.
3. Eksportir memenuhi permintaan importir dengan mengirimkan surat penawaran harga atau offersheet
yang berisi keterangan berdasarkan permintaan importir, seperti uraian
barang, mutu, kuantum, waktu penyerahan, harga dan tempat penyerahan
barang, syarat pembayaran, waktu pengapalan, cara pengepakan barang,
brosur, dan bila perlu contoh barang yang ditawarkan. Penawaran itu
juga menyebutkan apakah penawaran bersifat free offer atau firms offer.
4. Setelah mempelajari dengan seksama offersheet dari eksportir, kemudian importir membuat surat pesanan dalam bentuk ordersheet atau purchase order kepada eksportir.
5. Eksportir menyiapkan kontrak jual beli ekspor (sale’s contract) sesuai dengan data dari offersheet dan ordersheet ditambah dengan keterangan seperti force majeur clause, klaim, syarat pengapalan seperti partial shipment, transhipment, vessel age
dan lain-lain. Kontrak tersebut ditandatangani oleh eksportir dan
dikirimkan kepada importir untuk ditandatangani pula sebagai tanda
persetujuan atas sale’s contract itu. Lazimnya sale’s contract dibuatkan dalam rangkap dua (two original).
6. Importir mempelajari sale’s contract dengan seksama, dan bila dapat menyetujuinya kemudia ia menandatangani dan mengembalikannya kepada eksportir. Satu original copy ditahan oleh importir sebagai dokumen asli transaksi yang lazim disebut sebagai sale’s confirmation. Kedua sale’s confirmation copy yang asli ini mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Demikianlah gambaran beberapa tahap
atau proses dari pembuatan perjanjian ekspor/impor. Perbedaan dapat
terjadi untuk barang yang berbeda sebab membutuhkan perlakuan yang
berbeda dalam pelaksanaan ekspor/impor, baik oleh ekportir dan importir
maupun pihak-pihak lain yang terlibat.
Sejalan dengan itu perjanjian ekspor/impor harus memenuhi tiga landasan utama suatu perjanjian, yaitu:
a. Asas konsensus: adanya kesepakatan antara kedua belah pihak secara suka rela.
b. Asas obligatoir: mengikat kedua belah pihak untuk menjalankan semua hak dan kewajiban masing-masing.
c. Asas penalti: bersedia memberikan ganti rugi kepada pihak lain jika tidak memenuhi janji dalam menjalankan kewajibannya.
Dalam perjanjian ekspor-impor
sebagaimana perjanjian lain tentu saja memerlukan kesepakatan dari para
pihak. Perjanjian yang belum didasari suatu kesepakatan akan mengalami
kesulitan dalam pelaksaan. Akan tetapi, kesepakatan saja belum cukup
melainkan perlu diikuti dengan kesadaran para pihak untuk melaksanakan
kesepakan yang telah dibuat. Dalam upaya mendorong para pihak
melaksanakan perjanjian sering dicantumkan sanksi. Meskipun demikian
sanksi seberat apapun tidak akan bermanfaat banyak jika para pihak
tidak mau menaati kesepakatan semula. Pengenai sanksi buka saja sering
tidak menyelesaikan masalah melainkan sebaliknya justerus sering
memperbesar masalah yang ada bahkan menambah masalah baru.
Pihak-pihak yang terlibat dalam suatu
perjanjian ekspor/impor dapat bervariasi antara satu perjanjian dengan
perjanjian lain tergantug kebutuhan. Untuk perjanjian ekspor/impor yang
sederhana mungkin hanya terlibat beberapa pihak. Akan tetapi, untuk
perjanjian yang kebih rumit dapat terlibat lebih banyak pihak, baik
langsung maupun tidak langsung. Meskipun demikian sebagai gambaran
dapat dikemukakan bahwa pihak-pihak yang berhubungan dalam perjanjian
ekspor/impor antara lain meliputi.
1. Hubungan hukum antara pembeli dan penjual
2. Hubungan hukum pembeli dengan issuing bank
3. Hubungan hukum issuing bank dengan advising bank
4. Hubungaan hukum issuing bank dengan penjual
5. Hubungan hukum advising bank dengan penjual
Hubungan antara pembeli dan penjual
dalam perjanjian ekspor/impor tidak berbeda dengan jual beli pada
umumnya. Pembeli berkewajiban membayar harga barang dan penjual
berkewajiban menyerahkan barang. Selanjutnya pembeli berhak menerima
barang yang dibeli dan penjual berhak menerima pembayaran. Hubungan ini
mungkin tidak begitu jelas terlihat dalam perjanjian ekspor/impor yang
menggunakan L/C sebab pembayaran tidak langsung dilakukan oleh pembeli
kepada penjual melainkan melalui bank.
Hubungan hukum pembeli dengan issuing bank
dimulai ketika pembeli atau importir meminta bank membuka L/C untuk
kepentingan penjual/elsportir. Jika bank yang dihubungi importir (issuing bank)
tidak dapat berhubungan langsung dengan eksportir karena berbagai sebab
seperti tidak/belum adanya kantor bank tersebut di negara pengekspor,
bank tersebut akan menghubungi bank lain (advising bank).
Jika advising bank sudah mempunyai kantor atau cabang di negara issuing bank, hubungan dapat dilakukan kepada cabang tersebut. Apabila ternyata bank yang menjadi advising bank belum mempunyai cabang di negara issuing bank, hubungan dapat dilakukan kepada kantor advising bank di negar pengekspor atau negara lain yang paling memungkinkan.
Hubungan hukum issuing bank dengan penjual dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Jika issuing bank mempunyai cabang di negara pengekspor atau penjual, dimungkinkan terjadi hubungan langsung. Dalam hal ini dapat dikatakan issuing bank bertindak untuk kepentingan pembeli dan penjual. Akan tetapi tidak selalu issuing bank
mempunyai kemampuan berhubungan langsung dengan penjual sehingga
memerlukan satu atau beberapa bank lain. Jika keadaan ini yang terjadi
hubungan antara issuing bank dan penjual dapat dikatakan sebagai hubungan yang tidak langsung.
Hubungan hukum advising bank
dengan penjual terjadi dalam rangka pembayaran atas barang yang
diekspor kepada penjual. Untuk kepentingan pembayaran itu penjual harus
lebih dulu menyerahkan sejumlah dokumen sesuai dengan persyaratan yang
dimuat dalam L/C.
Dalam perjanjian ekspor/impor semua
pihak senantiasa perlu berkeinginan agar perjanjian dapat dilaksanakan
dengan baik. Akan tetapi karena berbagai sebab dalam perjanjian
ekspor/impor juga kadang-kadang ada pihak yang tidak taat kepada
kesepakatan dalam perjanjian atau tidak mau melaksanakan isi
perjanjian. Jika ada pihak yang tidak melakukakan isi perjanjian maka
pihak itu dikatakan melakukan wanprestasi.
Sebagaimana telah
disampaikan kadang-kadang ada pihak yang tidak mau melaksanakan
perjanjian, termasuk dalam ekspor/impor, baik sengaja maupun tidak
sengaja, baik atas keinginan sendiri maupun tidak atas keinginan
sendiri.
Seseorang yang dituduh lalai
melaksanakan suatu perjanjian dapat memberikan pembelaan dengan
berbagai alasan, yaitu: Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur); mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exeptio non adimpleti contractus); atau mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (pelepasan hak: bahasa Belanda: rechtsverwerking).
Demikianlah beberapa hal mengenai
perjanjian yang berkaitan dengan perjanjian ekspor/impor. Sebagian
ketentuan yang berlaku secara umum berlaku juga bagi perjanjian
ekspor/impor. Akan tetapi dalam beberapa hal perjanjian ekspor/impor
mempunyai kekhususan dibandingkan dengan perjanjian lain, seperti
melintasi batas-batas dua negara bahkan sering sekali melintasi lebih
dari pada dua negara
B. Kredit Berdokumen/Letter of Credit (L/C)
1. L/C Sebagai Perjanjian
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terahdap satu orang atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata). Kredit
berdokumen dibuka atas suatu perjanjian yang telah ditetapkan di dalam
perjanjian jual beli antara pihak pembeli dengan pihak penjual atau
dapat pula ditentukan setelah waktu diadakannya perjanjian jual beli
itu sendiri, hal tersebut tergantung kepada kesepakatan diantara kedua
belah pihak.
Dengan adanya janji (beding)
pembukaan L/C dalam suatu perjanjian jual beli maka pada asasnya
sekaligus juga bahwa saat-saat untuk menepati prestasi dari penjual dan
pembeli diatur atau dipertegas, hal ini biasanya terjadi dengan melihat
kepada akibat selanjutnya bahwa penjual barulah akan menyerahkan
barangnya setelah pembeli menyuruh bank membuka kredit untuk
kepentingan penjual.
Apabila perjanjian jual beli itu tidak
memuat suatu petunjuk atau ketentuan yang tegas-tegas atau diam-diam
tentang kapankah saat pembukaan L/C, maka saat yang paling tepat adalah
tergantung pada hal yang konkrit yaitu saat penyerahan barang dari
penjual diberitahukan kepada pembeli.
Suatu kredit berdokumen L/C dibuat
tidak hanya berdasarkan perjanjian jual beli yang secara tegas-tegas
disebutkan, akan tetapi dianggap ada secara diam-diam (samar-samar) di
dalam perjanjian jual beli tersebut. Suatu perjanjian jual beli tetap
merupakan suatu perjanjian jual beli di dalam pengertian yang
sebenarnya, yaitu bahwa perjanjian jual beli itu telah ada segera
setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan tentang barang dan
harganya meskipun benda itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar
(Pasal 1458 KUH Perdata). Janji (bedingi) atau klausula yang
dimasukkan di dalam perjanjian jual beli itu tidaklah membuat
perjanjian jual beli itu menjadi suatu perjanjian dengan syarat yang
digantungkan (opschotende voorwarde).
Kewajiban pembeli atas harga pembelian
tidaklah hapus hanya karena pembeli telah menyuruh membuka L/C kepada
bank untuk kepentingan penjual. Hapusnya kewajiban membayar dari
pembeli barulah ada apabila bank sungguh-sungguh telah membayar harga
pembelian itu kepada penjual. Adanya perbuatan menyuruh membuka kredit
itu harus juga mengandung suatu pengertian bahwa risiko tentang
insolvabilitas dari bank tetap menajdi beban dari pembeli atau risiko
dari pembeli.
Dalam bentuknya yang paling sederhana,
di dalam L/C terdapat tiga pihak, yaitu: Pembeli, penjual, dan bank.
Dengan adangan tiga pihak yang bersangkutan maka berarti juga terdapat
tiga hubungan di dalam kredit berdokumen (L/C), yaitu:
1. Hubungan hukum antara Pembeli dengan Penjual
Sebagaimana halnya transaksi jual beli
pada umumnya, dalam transaksi perdagangan internasional antara pembeli
dan penjual terjadi hubungan hukum sesuai dengan definisi jual beli
menurut Pasal 1457 KUH Perdata yang menyatakan bahwa jual beli adalah
suatu persetujuan dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga
yang telah dijanjikan.
Dalam transaksi perdagangan
internasional yang menggunakan L/C antara penjual dengan pembeli tidak
terdapat hubungan langsung karena pembayaran dilakukan oleh bank. Akan
tetapi pembukaan L/C tidak menghapus hak penjual atas pembayaran dan
hak itu baru hapus jika pihak bank telah membayar harga pembelian
tersebut kepada penjual.
2. Hubungan hukum antara Pembeli dengan Bank
Perjanjian yang menjadi dasar dari hubungan hukum antara pembeli dan bank merupakan pemberian kuasa (lastgeving)
dengan pemberian upah. Hubungan hukum itu lebih tepat dipandang timbul
dari suatu perjanjian yang mempunyai unsur-unsur campuran antara
perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian melakukan pekerjaan.
Kewajiban dari bank adalah membayar kepada penjual barang sesuai dengan
yang diperintahkan oleh pembeli dan bank berhak untuk menuntut
penggantian dari apa yang dibayarnya kepada penjual disertai upah. Jika
pembayaran telah dilakukan oleh bank, maka pembeli wajib membayar
kepada bank dan selanjutnya berhak untuk memperoleh dokumen-dokumen
yang sebelumnya telah diteliti oleh bank.
3. Hubungan hukum antara Penjual dengan Bank
Hubungan hukum antara penjual dengan
bank lahir atas dasar L/C yang diterbitkan bank yang disetujui penjual
(penerima). Persetujuan tersebut diwujudkan melalui pengajuan kredit
berdokumen yang disyaratkan L/C kepada bank tetapi penerima tidak
berkewajiban untuk menyetujui L/C yang diterbitkan oleh pihak bank dan
sebelum L/C disetujui oleh penerima maka L/C merupakan kontrak sepihak.